Usai
balik dari warung Mak Atun, Buk Imah meletakkan belanjaannya di atas sebuah
nampan, kemudian mengupas singkong untuk diparutnya.
“Ini
lho, Bah… Nugget tradisional kesukaan
Kenang. Untung ya, Bah… Kenang itu maem-nya ndak neko-neko. Tahu tempe juga
doyan, oseng angkung apalagi, terus Kenang juga ndak pernah ngeluh ini itu.”
Sembari
nyeruput kopi, Pak Muhammad alias Pak Kamad terkekeh mendengar istrinya yang
nerimonan.
“Alhamdulillah,
Itu namanya rejeki, Umi… istilahe barokah!”
“Oh
ya, Bah. Tadi pas di warung Mak Atun, Umi diwaduli sama Ibuk-Ibuk.”
“Wadul
nopo, Mi? Soal Abah ngajarnya?”
“Yo
ndak to, Bah! Abah ini super pokoknya. Tadi Bu Suci bilang, heran lho sama
nilai Rayhan anaknya. Lha wong di rumah itu kalau disuruh sinau saja susahe
pol. Itu nilainya bisa dapat predikat B dan C. Angkanya juga bagus-bagus.”
“Owalah,
gitu to, Mi?” Pak Kamad mengerutkan dahi.
“Njeh,
Bah. Wong Bu Suci sampe bilang ayem, kok. Dia jadi ndak usah kehilangan banyak
waktu untuk nyinauni Rayhan karena bisa konsen njahit pakaian yang diambil dari
konveksi Kaji Halim.”
“Ooooh.”
Pak Kamad kembali menyeruput kopi yang belum mengampas.
“Kok
datar wae ekspresi Abah? Umi saja seneng, berarti Abah berhasil.”
“Gitu
yo, Mi?”
“Iya
to, Bah! Bu Darti juga gitu, Si Bahlul anaknya…”
“Bahrul,
Mi. Bukan Bahlul. Salah sehuruf bisa fatal.”
“Yo
kuwilah jenenge… Anaknya Bu Darti itu pas besoknya mau ulangan saja ndak bisa
lepas dari hape. Disuruh sinau ndak mau. Tapi ya bisa dapat nilai C. Suweneng
pol Bu Darti, Bah. Ndak ada nilai merahnya.”
“Ooooh.”
“Lha
respon Abah kok cuman ah oh ah oh ko piye to, Bah?”
“Lha
kudu piye to, Mi. Begini, Mi… Abah sendiri juga dilematis. Kadang teknologi
yang disuguhkan, baik itu berupa aplikasi raport yang sudah menyentuh era
digital ini… Kok ya kadang ada sesuatu yang bertentangan dengan hati kecil
Abah.”
“Dalam
proses nggarap Umi setuju, Bah. Lha Abah ngadepi laptooooop terus. Biasane bisa
bantu-bantu Umi pekerjaan rumah. Nek sudah malam banget juga Abah langsung
merem.”
“Itu
hanya salah satu yang Abah rasakan, Mi. Kadang Abah mbatin sendiri, dalam
proses keluarnya nilai anaknya Ibuk-Ibuk yang wadul Umi tadi, ada semacam
pertentangan batin Abah. Kalau boleh jujur, Mi. Memberi nilai apa adanya juga
ada beberapa efek yang kurang baik ke belakang. Standar nilai yang ditetapkan
jujur ada beberapa anak yang belum bisa memenuhi. Dampaknya adalah predikat
dibawah C, dengan kata lain D. Ini kalau istilah zaman dulu nilai merah. Sangat
riskan kalau memberi nilai merah di zaman sekarang. Predikat raport di anak
juga menjadi penilaian akreditasi madrasah juga kok, Mi. Predikat D di raport
siswa itu tetap beresiko. Resiko kejiwaan anak juga karena semacam klaim tidak
bisa alias tertinggal. Lha makanya atas kesepakatan semua dewan guru, predikat
D tidak ada. Dengan kata lain satu dua anak tetap ada nilai katrolan.”
“Mbuh
lah, Bah. Umi kurang faham dengan istilah-istilah kuwi. Tapi mudeng apa yang
Abah maksudkan.”
“Dilematis,
Mi. Seperti tadi yang Umi bilang, malah orang tua pada ayem. Berbeda ketika
dulu leluasa menyemat angka merah di raport. Orang tua memiliki pukulan
tersendiri. Lebih bisa ikut bekerjasama ndandani anak. Sekarang… Sepertinya
ketakutan orang tua yang terbesar itu ndak bisa membelikan anaknya hape canggih
Atau takut si anak kurang bahagia karena
tertekan pelajaran. Alasan psikologis anak dan lain-lain. Bagus sih, Mi… Kalau
orang tua tetap membaca psikologis anak, tapi jangan itu didewakan, dan akhirnya
anak semakin memprihatinkan.”
“Kalau nilai Kenang, Bah? Apa ya sama dalam
prosesnya?”
Pak
Kamad terkekeh,
“Wehehehehhhh….
Ya ndak semua anak katrolan to, Mi. Banyak juga yang bisa memenuhi standar
nilai itu. Yen Kenang kuwi cerdas koyo Umi-ne.”
“Koyo
Abahe to, Bah. Lha wong Umi cuma IRT kok!”
“Lha
meski Ibu Rumah Tangga, Umi itu yang cerewet soal pelajaran Kenang. Mbaca
jadual yang ada Tematik, kuwi lho opo? Buku paket kok dicampur-campur kayak
pecel. Itu sebenarnya juga keluhan Abah dan teman-teman. Lha wong saat
pembelajaran, berbagai mata pelajaran jadi satu dalam tema yang sama. Ulangan
juga demikian. Tapi masuknya di penilaian ke raport harus dipisah, IPA sendiri,
IPS sendiri, besoknya kalau kelas enam juga ujiannya per mata pelajaran, jadi
dipisah lagi, iki kok cilik’anku wayah sekolah malah ndasku mbledhos.”
“Umi
kemarin-kemarin juga pengen mbledhos pas Abah sedikit-sedikit laptop,
sedikit-sedikit laptop, bangun tidur laptop, sudah semacam istri kedua Abah
pokoknya Umi ini.”
“Hahahahaha….
Kudu ngakak Abah iki nyawang Umi cemburu. Lha piye jal? Laptop dicemburuni?”
“Abaaaaahhhh!!!!!”
Sebuah cubitan didaratkan sang istri pada Pak Kamad.
“Waduh
nanti malam wae to, Mi nek mau nyubit-nyubit.”
“Habis
Abah ngelantur.”
“Biar
ndak spaneng kayak Umi pas nonton sinetron to, Mi. Oh ya, Mi. Memang Abah rasakan,
sepertinya ruh dunia pendidikan itu kok cenderung marem zaman dahulu ya, Mi?
Guru juga lebih maksimal tanpa dihabiskan waktunya dengan urusan administrasi
mengajar. Ah sudahlah… Balik lagi
pelaksana kebijakan hanya menjalani. Wong yang mbuat kebijakan itu rapatnya
juga digaji, menetapkan kebijakan dan merubahnya juga digaji, mungkin kurang
marem yen kurikulum ora digonta ganti. Tapi meski gitu, Mi. Yang penting tresno
Abah ke Umi tak pernah ada yang bisa ganti.”
“Abaaahhhhh!!!”
Kembali sebuah cubitan yang bertubi-tubi dari istri tercinta mendarat pada Pak
Kamad yang mengurai tawa khasnya.
www.kabarmadrasah.com
Terima kasih telah membaca artikel ini, Semoga bermanfaat.jangan lupa baca artikel : Menyemai kader nahdhiyyah dengan Tahlil