Kudus, Kabarmadrasah.com - Pagi ini sejenak saya dan rombongan menjeda
dari aktifitas sehari-hari. Menuju ke sebuah kelurahan bernama Sunggingan, kelurahan
yang terletak di kota Kudus bagian kulon (barat). Di mana mata saya tertuju
pada komplek pemakaman tua. Bersapa dengan Pak Basyar, lelaki tua berusia delapan
puluhan tahun yang bertugas sebagai Tenaga Kebersihan makam. Alih-alih
menjumpai H. Munawwir sang juru kunci, karena waktu yang singkat maka saya
manfaatkan persuaan dengan Pak Basyar ini walau beliau sambil menyisir
rumput-rumput kecil di batu bata makam, bertutur akan kondisi makam yang
dahulunya berjumlah dua ratusan hingga dipugar dan ditata seperti sekarang.
Tentunya sudah sangat berbeda dari yang saya lihat saat ini. Jumlahnya tak ada
lima puluhan. Namun pada sudut beberapa makam itu, sebuah makam utama yang
konon Kyai Telingsing dikebumikan, dan sering didatangi para peziarah.
Meski
bertahun-tahun mendiami kabupaten ini, saya benar-benar merasakan kebutaan akan
tiap sudut sejarah peradabannya. Sebut saja komplek pemakaman para wali yang
saya kenal hanya sekitar makam Sunan Kudus dan
Sunan Muria. Bahwa benar, kadang yang terdekat inilah yang sering
terabai. Maka pilihan rombongan untuk menjejak di makam Sang Kyai Telingsing menjadi
tujuan. Dengan memohonkan doa pada Ilahi Rabbi dengan meyakini karomah para
wali penyebar Islam, khusyu’ doa kami terpanjat. Dengan niatan anak didik kami
MI NU Miftahul Falah mendapat kemudahan dalam menghadapi ujian madrasah pertengahan
April 2019 ini.
Baca Juga Artikel lainnya :
Pada saya, Pak Basyar menyempatkan pulang untuk memberi sebuah catatan singkat sejarah perjalanan Kyai Telingsing. Tiga lembar kertas tak lebih lima menit saya baca.
“Apakah yang Ayahanda maksudkan?” tanya The
Ling Sing muda yang mengalir dalam darahnya perempuan keturunan Tiongkok dengan
darah Kanjeng Sunan Sungging.
“Pergilah kau ke Negeri Nusantara, di sanalah
aku pernah berdiam.” Jawab Kanjeng Sunan Sungging pada putranya.
Maka berangkatlah The Ling Sing ke negeri
tersebut. Konon akhirnya, sampailah ia ke tempat yang di tuju. Maka mulailah
The Ling Sing menyiapkan diri untuk membenahi sekelilingnya dan berdakwah. Di
mana pada waktu itu masyarakat di daerah sekitar (baca; Kudus) masih kuat
memeluk hindu.
Bersua dengan Kanjeng Sunan Kudus, belajar
dalam jalan sunyi ma’rifat dan thoriqot, serta bertabligh dengan jalan arif,
ialah kekhasan The Ling Sing. Hingga pada suatu saat, ia dipercaya membuat
kenang-kenangan ketika Kanjeng Sunan Kudus akan kedatangan tamu dari Tiongkok, sebuah
kendi yang sekilas biasa, sempat membuat kecewa tamu dari penampakan kendi yang
dibuat The Ling Sing. Sinislah wajah Kanjeng Sunan Kudus. Namun ketika kendi
tersebut ia pecah, sebuah kalimat syahadat memancar di tengah-tengah. Barulah
Kanjeng Sunan Kudus meyakini bahwa The Ling Sing adalah orang yang sakti
mandraguna.
Kearifan, sebuah kata mutlak dalam berdakwah. Sebagaimana
kita tahu bahwa, bukan gemuruh petir yang menumbuhkan bunga dan benih, tapi
guyuran lembut hujan dengan kasihnya. Kawan, singgahlah sejenak ke tiap penjuru
tanah Quds van Java. Di sana khasanah kearifan akan kau jumpai, mulai dari
anjuran Sunan Kudus untuk tidak menyembelih
sapi atas nama toleransi, atau beragam pula akulturasi bangunan bercorak
hindu yang diejawantahkan ke bentuk gapura masjid. Kapan jejak langkah
kawan-kawan ke Makam Kyai Telingsing ini? Sambil menghirup oksigen dari pohon
tua bernama pohon Nagasari yang berdiri kokoh di depan makam. (Redaksi:Yani)
www.kabarmadrasah.com
Terima kasih telah membaca artikel ini, Semoga bermanfaat.
Jangan lupa baca artikel : Mawaqiul ulum filosofi bela diri yang berbuah prestasi Anda juga dapat mengunjungi blog kami yang lain :
1. Yani di akarrantingdaun.blogspot.com
2. Suparno di suparno.web.id
Untuk melihat lebih jauh tentang semua postingan blog kabarmadrasah ini,, silakan kunjungi [ Daftar Isi ]
Semoga bermanfaat dan jangan lupa klik tombol like dan Share . Terima Kasih