Madrasah hebat bermartabat- Lebih baik madrasah - Madrasah lebih baik

Breaking News

26 November 2017

Porsadin Kudus 2017 wujud eksistensi Madrasah Diniyyah



www.kabarmadrasah.comKabarmadrasah.com - Pekan Olah Raga dan Seni Madrasah Diniyyah ( PORSADIN ) Kabupaten Kudus 2017 diselenggarakan pada tanggal 26 November 2017 di Madin Hidayatul Aulad  Desa Prambatan Kidul , Kaliwungu Kudus dengan lancar dan sukses. Kegiatan ini diikuti dari utusan  madin di kecamatan-kecamatan se-Kabupaten Kudus.

Beberapa perlombaan digelar baik dari cabang olah raga maupun seni, dan berikut rekapitulasi pemenangnya


Kepada Madin yang mendapat juara diucapkan selamat semoga prestasi yang diperoleh dapat dipertahankan  dan bagi madin / kecamatan yang pada event kali ini belum mendapatkan prestasi / juara, semoga PORSADIN yang akan datang bisa meraih prestas yang gemilang. 

Demikian postingan kali ini, semoga bermanfaat bagi kita dan pendidikan Madrasah Diniyyah di Kabupaten Kudus tercinta.

Untuk melihat lebih jauh tentang semua postingan blog kabarmadrasah ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 
Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih
Baca selengkapnya ...

11 November 2017

Khususi ( Bag. 2 )

www.kabarmadrasah.com
Kabarmadrasah.com - Dalam transkrip pengajian kali ini, Yai Rori RA mendefinisikan thariqah sebagai sebuah ‘perjalanan’ –atau yang dalam dunia sufi biasa dikenal dengan istilah suluk— yang hanya bisa dirasakan oleh para pelaku atau murid thariqah sejati. Yaitu mereka yang dalam menempuh perjalanan suluknya memang benar-benar menuju serta punya tujuan akhir hanya kepada (keridlaan) Allah SWT. Beliau RA juga menggaris bawahi (lagi) bahwa perjalanan (suluk) ini perlu dirasakan atau dipraktikkan secara langsung oleh para murid thariqah, dan tak hanya cukup diketahui teorinya saja (lihat lagi edisi sebelumnya tentang tasawuf ‘ilmi dan tasawuf ‘amali). Sebab, ilmu –atau lebih tepatnya teori-teori keilmuan dhahir– yang tak disertai dengan ketakwaan akan berpotensi mereduksi keyakinan seseorang. Inilah kurang lebih yang dimaksud dan disebut dalam sebuah riwayat –ada yang bilang ini termasuk hadits riwayat dari Ad Dailami dan Ibnu Hibban–: “Man izdaada ‘ilman walam yazdad hudan, lam yazdad illaa bu’dan” (Barangsiapa yang bertambah ilmunya namun tak bertambah ketakwaannya, maka (hakikatnya) ia tak bertambah apapun selain bertambah jauh (dari Allah SWT).
                Perjalanan atau suluk thariqah yang disebutkan di atas adalah dengan cara menempuh atau menaklukkan ‘medan-medan’ spiritual tertentu. Dalam kitab Siraajut Thaalibiin, Syaikh Ihsan Jampes RA menyebut ‘medan’ yang harus ditempuh oleh para salik ini dengan istilah  ‘aqabaat (jalanan berundak yang naik dan menanjak ke atas, seperti halnya anak tangga). Tanjakan-tanjakan tersebut adalah berupa maqamat-maqamat ataupun ahwal-ahwal yang harus ‘ditaklukkan’ dan ditempuh oleh para salik agar ia bisa sampai kepada (keridlaan) Allah SWT. Maqamat ataupun ahwal berisikan berbagai sifat/praktik mulia dan terpuji seperti taubat, ikhlas, dan lain sebagainya (lebih lengkap tentang macam-macam maqamat, bisa dilihat lagi di BAF mulai edisi 57). Perjalanan yang berundak ini sekaligus juga menunjukkan bahwa perjalanan thariqah bukanlah perjalanan yang mudah. Perlu determinasi tinggi dan keteguhan hati untuk menaklukkannya. Beberapa makam wali songo seperti Sunan Muria, Sunan Giri, dan Sunan Gresik yang untuk bisa sampai kesana harus melalui jalanan yang berundak dan menanjak, mungkin, sekali lagi mungkin, juga memiliki filosofi maqamat yang senantiasa harus ditingkatkan dengan terus mendakinya, tidak berhenti di tengah jalan apalagi turun sebelum sampai di ‘puncak’.
                Nah, perjalanan sulit dengan ‘medan berat’ yang harus ditkalukkan tersebut sekali lagi memiliki target atau goal yang mulia, yaitu agar sampai pada keridlaan Allah SWT, dan bukan hanya agar sampai di surga ataupun tak mampir ke neraka. Caranya adalah dengan memerangi hawa nafsu (mujahadatun nafsi).
                Apa yang terdetik dalam hati –dimana hati merupakan motor atau penggerak awal dari semua amal manusia– tidak/sulit untuk dipastikan: apakah ia bersumber dari Tuhan, setan, ataupun yang lainnya?. Maka, di sinilah urgensi dan peran seorang Guru thariqah yang akan membimbing perjalanan seorang murid. Ini ditambah lagi dengan fakta bahwa perjalanan masing-masing murid memang berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Karena berbeda, ‘treatment’ atau penanganan yang diberikan pun juga pasti berbeda, disesuaikan dengan kondisi (spiritual) dari masing-masing murid. Makanya dalam berbagai hadits, jawaban Rasulullah ketika ditanya oleh beberapa Sahabat tentang amal apa yang paling bagus bagi mereka pun juga berbeda-beda. Sebab jawaban tersebut akan Beliau sesuaikan dengan kondisi (dan kecenderungan/bakat) spiritual dari si penanya.
                Lebih lanjut lagi, Yai Rori RA juga menjelaskan tentang “al kalimuth thayyib” dan “al ‘amalush shalih”. Sebab, dalam mengarungi dan menempuh perjalanan thariqah, seorang salik pasti akan menggunakan kedua ‘media’ tersebut. Dalam Al Qur’an surat Fathir ayat 10 disebutkan bahwa keduanya bisa ‘naik’ dan sampai (diterima) di sisi Allah SWT. Kunci agar amalan-amalan (ibadah badaniah) dan ucapan-ucapan (dzikir) tersebut bisa ‘sampai’ dan diterima oleh Allah SWT, menurut Beliau RA adalah jika pengerjaannya tak didorong oleh faktor-faktor atau motif-motif duniawi maupun ukhrawi. Motif duniawi seperti beribadah karena riya’ atau sum’ah dan yang semisalnya. Sedangkan motif ukhrawi seperti ketika ibadah seseorang didorong karena faktor menginginkan surga atau fadlilah-fadlilah tertentu dan agar terhindar dari (siksa) api neraka.
                Sedangkan macam atau varian dari amal shalih sebagai ‘media’ dalam menempuh perjalanan thariqah tersebut jumlahnya sangat banyak sekali. “Ath thara-iq ‘alaa ‘adadi anfaasil khalaa-iq.” Jumlahnya sebanyak bilangan nafas seluruh makhluk. Statetement ini, selain mengindikasikan berjumlah banyak juga mengindikasikan selamanya, seumur hidup (long life journey). Sebab, kelak yang akan ditanyakan (dihisab) saat kiamat adalah dua hal: ketika sedang menarik atau menghirup nafas sedang melakukan apa?, dan ketika mengeluarkan nafas sedang mengerjakan apa?. Karenanya orang thariqah sangat (dianjurkan untuk) menjaga keluar masuknya nafas mereka. Karenanya pula, terkait dengan menjaga keluar masuknya nafas ini, Beliau RA mengajarkan sebuah bimbingan yang ‘strategis’ sekaligus ‘cerdas’. Kita dibimbing oleh Beliau RA agar setiap kali menghirup nafas, saat itu pula hati kita mengucap (penggalan kata) ”ALL”, dan di saat membuang nafas, kita mengucap lanjutannya (yaitu penggalan kata) “LAH” dalam benak kita sambil menekuk lidah ke atas seperti halnya saat sedang melakukan dzikir sirri.  ”ALL” “LAH”.. ”ALL” “LAH”.. ”ALL” “LAH”.. begitu seterusnya, sampai kita terbiasa.
                Kenapa bimbingan ini ini kami sebut cerdas?. Karena ketika yaumul hisab dan kita ditanya: saat menghirup dan membuang nafas sedang melakukan apa?. Kita bisa menjawab: “Mengingat Allah.”
                Kenapa bimbingan ini kami sebut strategis?. Karena dzikir model ini bisa kita lakukan sambil multy tasking. Artinya, kita bisa tetap melakukannya meskipun sambil mengerjakan aktivitas sehari-hari secara normal. Sambil ngantor, sambil mendengarkan keterangan dosen saat kuliah, sambil menunggu pembeli datang membeli dagangan kita, atau yang lain, dalam hati, kita tetap bisa melakukan dzikir menjaga keluar masuknya nafas tersebut. Yang kami ingat lagi dari dawuh Beliau RA, untuk mempermudah melakukan hal tersebut, yang dilakukan pertama kali adalah menekuk lidah ke atas. Karena itu ibarat pintu masuk ataupun saklarnya.

sumber :buletinalfithroh.com

Untuk melihat lebih jauh tentang semua postingan blog kabarmadrasah ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 

Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih
Baca selengkapnya ...

02 November 2017

Manaqib Al-Khidmah Undaan Kudus

Kabarmadrasah.com - Sebagai dokumentasi kegiatan Al-Khidmah Undaan Kudus yang pernah dilaksanakan di kediaman Bapak Moh. Thohir Undaan Kudus pada Tahun 2004
1. Video Mauidhoh KH. Munir Abdullah

2. Haul sesepuh Undaan 2017

Demikian semoga memori kegiatan ini menggugah semangat bagi ikhwan -akhwat untuk senantiasa mengikutui dawuh-dawuh dan tuntunan dalam jamaah Al-Khidmah, Amiin

Untuk melihat lebih jauh tentang semua postingan blog kabarmadrasah ini,, silakan kunjungi Daftar Isi ] 

Semoga bermanfaat dan jangan lupa  tombol like , Terima Kasih
Baca selengkapnya ...

Khususi ( Bagian 1 )

Level seorang muslim dalam beribadah atau dalam menempuh ‘perjalanan’ spiritualnya terbagi menjadi tiga. Pertama, level syariah atau Islam. Yaitu ketika ibadah seseorang masih sebatas pada urusan sah atau tidak sah. Standar yang ditetapkan oleh orang yang berada di level ini simpel saja: yang penting syarat serta rukun dari ibadahnya terpenuhi dan tercukupi dari sudut pandang ilmu syariah atau Fiqh. Masalah lain di luar itu seperti khusyu’ atau tidak, tak terlalu diambil pusing oleh orang-orang yang berada di level ini.
                Yang kedua adalah level thariqah atau Iman. Yaitu ketika dalam ibadahnya, seseorang sudah bisa memurnikan niat dan tujuan, semata-mata hanya karena Allah SWT. Dalam beribadah, ia tak lagi bertendensi pada hal-hal yang mungkin masih menjadi tujuan dari orang-orang yang berada pada level syariah seperti mengharapkan surga atau takut neraka. Orang yang berada pada level thariqah mempunyai tujuan yang lebih bernilai dari sekedar keinginan yang bersifat ‘matre relijius’ seperti itu. Tujuan dari ibadahnya semata-mata hanya karena mengharap ridla Allah SWT.
                Yang ketiga adalah level haqiqah atau Ihsan. Pada level ini, seseorang sudah bisa bermusyahadah. Artinya, dalam setiap ibadahnya, ia bisa dan mampu menyaksikan (kebesaran dan keagungan) Allah SWT. Kalaupun tak bisa seperti itu, dalam setiap ibadahnya, bahkan dalam setiap gerak-geriknya, ia selalu merasa disaksikan oleh Allah SWT. Karena senantiasa merasa disaksikan secara langsung oleh Allah SWT inilah, iapun juga selalu berusaha untuk total dan maksimal dalam beribadah, baik dari segi batiniah apalagi dari segi lahiriah.
                Terkait dengan tiga level tersebut, Beliau RA memberikan suatu gambaran atau perumpamaan. Agama (Islam) diumpamakan seperti sebuah kebun. Sedangkan syariat adalah dinding atau pagarnya. Thariqah adalah rindangnya pepohonan di dalam kebun tersebut. Yang terakhir, haqiqah adalah buah yang dihasilkan oleh pepohonan yang rindang tadi.
                Apalah artinya seseorang yang punya kebun tapi tak ada pagarnya?. Tentu perkebunan tersebut menjadi berisiko, terutama oleh gangguan-gangguan bersifat eksternal seperti penjarahan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab atau minimal oleh binatang ternak milik tetangga yang sedang kelaparan. Pada akhirnya, pertumbuhan pepohonan yang ada di kebun tersebut menjadi terhambat bahkan tidak menutup kemungkinan akan menjadi mati. Orang yang beragama Islam namun tak menjalankan syariat pun juga seperti itu. Hati dan jiwa spiritualnya akan gersang bahkan mati karena tak pernah ‘disirami’ oleh ibadah.
                Apalah artinya sebuah kebun, kalau pepohonan yang tumbuh di sana tidak rindang dan tidak subur?. Tentu ia menjadi kurang begitu berarti sebagaimana seorang yang rajin shalat, namun ia tidak atau belum bisa merasakan kenyamanan dari shalatnya tersebut.
                Apalah artinya pula kebun tersebut rindang namun di sisi lain ia tak bisa berbuah?. Tentu akan banyak yang menyayangkannya. Sebagaimana sangat disayangkannya seorang yang sudah bisa merasakan lezatnya ibadah, tapi tidak ada progress atau peningkatan dari ibadahnya tersebut, atau kalaupun tak begitu, ibadahnya tak bisa memberikan pengaruh positif dalam perilakunya sehari-hari.
                Yang terakhir, apalah artinya kebun yang rindang dan telah berbuah, namun tak ada pagarnya?. Tentu ini sama berisikonya seperti yang awal tadi. Seseorang yang sudah berada di level thariqah atau haqiqah namun tak mau menjalankan syariah pun juga berisiko. Minimal ia akan disalah pahami oleh orang-orang di sekitarnya sebagai orang yang tak taat terhadap aturan agamanya. Ketiga level tersebut idealnya selalu dikombinasikan dan tak hanya dipilih salah satunya saja. Sebab ketiganya memang saling terkait dan saling melengkapi satu sama lain.
                Nah, thariqah itu adalah ilmu yang berhubungan dengan rasa di dalam hati para pelakunya. Rasa yang dimaksud di sini adalah perasaan nyaman dan tenang ketika melakukan ibadah atau ritual tertentu. Perasaan semacam ini tentu tak bisa diperoleh dari seminar-seminar tasawuf dan lainnya yang bersifat formal atau ilmiah. Ia bisa diperoleh dengan beramal atau melakukan ibadah tertentu secara kontinyu [baca: mujahadah]. Artinya, langsung dipraktikkan dan tak hanya diteoritisasikan dalam majlis-majlis ilmiah saja.
                Tujuan hidup –menurut Beliau RA— ada dua; untuk beribadah kepada Allah SWT dan untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai penunjang agar bisa tenang dan lancar dalam beribadah. Tujuan hidup yang pertama [baca: beribadah] dikatakan ideal atau sesuai standar kalau dalam beribadah, seseorang sudah bisa merasakan kenyamanan atau sudah bisa merasakan lezat-manisnya ibadah. Caranya adalah dengan ‘pintar’ istiqamah dalam beribadah dan tidak hanya pintar secara ilmiah.  Selain itu, orang yang ingin mempertajam perasaannya juga harus mau berkumpul dengan orang-orang shalih dan kemudian mencari guru pembimbing atau mursyid. Sebab kalau tak ada Guru yang membimbing, dikhawatirkan gurunya adalah setan. Orang-orang yang bisa seperti itu –mau ngumpul bersama orang-orang shalih dan punya guru mursyid–, mungkin dari segi teori ilmiah mereka tak bisa disebut pandai/pintar. Tapi dari segi amaliah, level mereka jauh di atas para akademisi yang hanya membicarakan tasawuf secara ilmiah saja, tapi tidak atau belum mempraktikkannya. Sebab yang dinilai oleh Allah SWT memang amal seseorang, bukan ilmunya!. Allah SWT berfirman dalam surat Al Mulk ayat 2 yang artinya: “Dialah Tuhan yang menciptakan hidup dan mati untuk menguji kalian semua: siapa di atntara kalian yang paling bagus amalnya?.” Dari sini bisa disimpulkan bahwa tasawuf ‘amali lebih baik daripada tasawuf ‘ilmi. Tentu kondisi yang paling ideal adalah beramal sekaligus berilmu. Artinya, apa yang telah diamalkan dalam thariqah, kemudian juga diusahakan untuk bisa diketahui teori ilmiahnya. Tapi kalau harus memilih salah satunya saja karena situasi dan kondisi memang tak memungkinkan untuk itu –misalnya karena sudah udzur seperti kebanyakan jamaah kita yang sudah sepuh-sepuh–, tentu memilih tasawuf ‘amali adalah pilihan paling bijak.
                 Tujuan hidup yang kedua adalah memenuhi kebutuhan hidup. Tentu ini ada kaitannya dengan rizki. Kondisi ideal dari hal yang berhubungan dengan rizki ini adalah ketika seseorang sudah bisa menerima serta merasa cukup dengan rizki yang telah ia peroleh dari usahanya (‘izzul qana’ah). Sekaya apapun seseorang, tapi kalau dia belum bisa merasa cukup dengan kekayaannya, maka hatinyapun juga masih belum bisa merasakan ketenangan. Dalam hal ini, ia sebenarnya adalah orang yang miskin (hati). Sebaliknya, meskipun secara dhahir mungkin seseorang tidak bisa dibilang kaya –bahkan mungkin terlihat hidup serba kekurangan–, tapi kalau hatinya bisa merasakan cukup, maka dia sebenarnya adalah orang yang kaya (hati).

Sumber: Transkrip Pengajian Romo Yai Asrori RA: Apa Itu Khushushi? (Bagian I)

Baca selengkapnya ...
Designed Template By Blogger Templates - Powered by Kabarmadrasah.com