Pernahkah kita membayangkan, kalau seorang guru bisa jujur mengungkapkan isi hatinya? Mungkin ucapannya sederhana, lirih, tapi penuh makna:
“Aku juga lelah, Nak.
Namun aku simpan letihku dalam senyum, supaya kau tak melihat beratnya langkahku menuju kelas setiap pagi. Aku ikat lelahku dalam doa, agar semangatmu tak pernah padam hanya karena aku sedang payah.”
Ya, guru datang ke sekolah dengan segala tawakal. Tak jarang dengan perut kosong, pikiran penuh beban, tapi tetap berdiri tegak di depan kelas. Ia menyapa ramah, membimbing dengan sabar, dan menabur harapan lewat huruf demi huruf, lewat cerita-cerita kecil yang kelak membentuk karakter.
Ia mungkin jarang mendapat pujian, bahkan seringkali terlupakan, tapi hatinya luas karena sejak awal, ia tidak mencari sanjungan, melainkan keberkahan.
Guru bisa saja menyerah, duduk pasrah, membiarkan waktu berjalan tanpa peduli. Tapi tidak, ia memilih bertahan. Alasannya sederhana: ia yakin setiap anak adalah ladang pahala. Ilmu yang ditanamnya akan tumbuh menjadi pohon kebaikan yang rindangnya meneduhkan dunia.
Dan jika guru bisa berpesan kepada orang tua, mungkin pesannya cuma satu:
“Jangan biarkan aku berjuang sendirian"
Aku hanya punya waktu terbatas di sekolah. Jangan hanya menitipkan uang saku atau perlengkapan belajar. Tapi titipkan juga waktumu, perhatianmu, dan pelukanmu kepada anak-anak di rumah. Karena kami bukan pengganti orang tua, melainkan teman seperjuangan dalam mendidik.
Dan kepada para guru yang masih bertahan meski lelah, meski air matanya sering jatuh diam-diam di sajadah setelah seharian menguatkan anak-anak orang lain, percayalah…
Allah tahu semua letihmu. Allah tahu semua doamu.
Teruslah melangkah, walau kadang gemetar. Karena setiap kata yang kau ajarkan, setiap nasihat yang kau tanamkan, bukan sekadar pekerjaan, itu amal yang akan abadi.
Maka yakinlah…Lelahmu tidak pernah sia-sia, sebab di balik peluhmu, tumbuh generasi yang akan menerangi dunia.